Kita semua menyadari bahwa dunia pendidikan di tanah air lebih menekankan arti penting niai akademik, kecerdasan otak, atau IQ saja. Siswa terbiasa melakukan segala cara demi mendapatkan nilai sempurna dalam kertas ujian mereka, bisa jadi dengan aksi contek - mencontek hingga mendatangi dukun untuk mendapatkan peruntungan. Tidak jauh berbeda halnya dengan orang tua dan guru. Umumnya perhatian orang tua akan perilaku dan spiritual anak, jauh tidak berarti dibandingkan dengan perhatian orang tua dalam kemampuan dan perkembangan nilai kognitif anak. Mayoritas guru pun jarang memberikan kritik dan nasihat perihal perilaku siswanya. Biasanya, mereka hanya memotivasi untuk terus giat belajar demi suksesnya masa depan siswa.
Namun, pada era modern ini kekerasan yang dilakukan remaja seperti tawuran, perjudian, dan saling ejek mengejek di dunia maya menjadi semakin marak. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan intelektual saja tidak cukup, tetapi memerlukan adanya pembelajaran lain yakni pendidikan emosi dan spiritual. Menindak lanjuti hal tersebut, kementrian pendidikan dan kebudayaan memutuskan untuk mengganti sistem lima hari kerja menjadi full day school. Pergantian sistem ini diperlukan untuk mengubah pendidikan yang hanya mementingkan intelektual saja, menjadi pendidikan karakter yang juga mementingkan emosi dan spiritual.
Fullday school mengusung lima nilai utama, yaitu nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, serta integritas. Fullday school memiliki waktu tersendiri untuk literasi, menyanyikan lagu indonesia raya, berdoa, maupun menanamkan nilai pendidikan karakter. Literasi yang memiliki waktu lima belas menit pada awal pelajaran bisa menambah wawasan siswa dan membentuk emosi siswa. Pelaksanaan tadarus bersama yang menjadi pengganti literasi juga menjadi nilai positif tersendiri. Siswa bisa menambah sisi religius mereka dengan adanya kegiatan ini. menyanyikan lagu indonesia raya dan berdoa juga turut membentuk karakter siswa.
Peran fullday school dalam peningkatan kualitas pendidikan intelektual adalah dengan adanya kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler. Kegiatan intrakulikuler adalah kegiatan belajar mengajar sebagaimana hal nya dalam sistem 6 hari kerja. Sedangkan ekstrakulikuler adalah kegiatan peningkatan pendidikan intelektual dengan adanya peminatan seperti TSC atau PMR yang menjadikan siswa didalamnya mendapatkan wawasan baru.
Peran fullday school dalam peningkatan kualitas pendidikan emosi dapat dilihat dengan adanya ekstrakulikuler olahraga. Dalam olahraga, diajarkan bagaimana kerja tim sehingga berperan membentuk pelatihan emosi masing-masing siswa. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan emosi dapat dilihat dengan adanya hari Sabtu sebagai hari libur. Hari tersebut sangatlah tepat untuk dijadikan hari keluarga. Diharapkan para siswa bisa bergaul lebih dekat dengan keluarga ataupun masyarakat sekitarnya sehingga bisa bersosialisasi dengan baik atapun belajar dalam pengendalian emosi.
Full day school dalam peningkatkan kualitas pendidikan spiritual dapat dilihat dengan adanya dua hari libur di rumah, yakni Sabtu dan Minggu. Dua hari tersebut perlu dimanfaatkan sebaiknya sebagai hari pendidikan karakter, terutama hari Sabtu. Contoh kecilnya hanya dengan bermain ke rumah kakek saja, kita secara tidak langsung akan mendapatkan nasihat yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas spiritual kita. Hari tersebut juga cocok untuk dijadikan hari mengaji atau menambah pengetahuan mengenai agama kita.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tindakan kementrian pendidikan dan kebudayaan dalam menjadikan pendidikan karakter sebagai landasan sistem fullday school sudah tepat. Harapan kedepannya, semoga perubahan sistem ini tidak hanya berimplikasi pada dunia pendidikan saja, tetapi pada dunia yang lebih luas sehingga perbuatan negatif sebagaimana penyimpangan remaja dapat dicegah.
0 Comment:
Posting Komentar